Saturday, January 24, 2009

Malam Jumat di Gaza City


Perang belum lama usai. Baru sepekan berlalu. Namun, nyaris tidak berbekas sedikit pun di Gaza City, ibu kota Jalur Gaza, malam itu. Kecuali, kalau berada di samping gedung parlemen yang kini menjadi puing-puing atau di samping kantor polisi yang menjadi puing-puing dengan rongsokan mobil.

Coba lihat sepanjang Jalan Omar Muchtar, yang membentang sepanjang sekitar 1 kilometer dari timur ke barat dan berujung di pantai Laut Mediterania, setiap Kamis malam atau malam Jumat. Salah satu jalan utama di Gaza City itu berubah menjadi pusat keramaian. Lihat juga dua jalan utama lainnya: Jalan Wahdah (Wahdad Street) dan Jalan Salatin (Salatin Street). Pemandangan hampir sama di sepanjang kedua jalan itu.

Lampu-lampu bersinar terang. Toko-toko membuka lebar-lebar pintu. Segala macam toko ada. Toko komputer, toko telepon seluler, toko roti, toko kelontong, restoran, tempat penukaran uang, bank, apotek, toko sepatu, toko perhiasan, bahkan mal, semua buka. Bahkan, restoran hamburger pun ada dengan warna cat tembok merah-kuning yang begitu mencolok.

Di mana-mana terlihat orang-orang tua dan anak-anak bergerombol. Ada yang bergerombol ngobrol begitu saja. Ada yang ngobrol sambil menikmati teh atau kopi panas di kafe-kafe atau mengisap sisha. Orangtua membawa serta anak-anak mereka berjalan-jalan menyusuri Jalan Omar Muchtar, Jalan Wahdah, dan Jalan Salatin. Anak-anak kecil berlarian sepanjang trotoar, pengemis menggamit lengan orang-orang yang lalu lalang minta bagian rezeki.

Di depan Bank of Palestine, dekat reruntuhan gedung parlemen, tiga puluhan lelaki berjajar antre di depan anjungan tunai mandiri (ATM). Mereka adalah para pegawai negeri yang antre mengambil gaji. ”Kami baru mengambil gaji. Saat ini kami sekaligus mengambil dua bulan gaji karena gaji kami ditunda pembayarannya gara-gara perang,” tutur Mas’ud (40), salah seorang lelaki yang ikut antre. Agresi militer Israel ke Jalur Gaza berlangsung 22 hari sejak 27 Desember 2008.

Sejumlah lelaki berdesakan di depan restoran kecil yang khusus jualan takmiyah, roti yang di dalamnya berisi telur, sayur, dan takmiyah, campuran berbagai ragam rempah.

Anak-anak muda lebih menyukai makanan amerika dan italia. Quick Pick, misalnya, yang menjual aneka macam burger—ada chicken burger, cheese burger, quick burger—menjadi pilihan. Atau beragam pizza-margharrita, vegetarian, supreme, dan napolitana kalau ingin merasakan makanan italia.

Dalam dunia politik boleh membenci AS dan Italia, tetapi dalam hal makanan urusan lain. "Yang kami benci dan tidak sukai adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat, bukan makanannya," tutur Ali (21) yang tengah menikmati cheese burger.

Malam istimewa

Malam Jumat adalah malam istimewa. Karena Jumat adalah hari libur di negara-negara kawasan Timur Tengah. Jadi, malam Jumat seperti malam Minggu di negara-negara bukan Timur Tengah. Semua orang keluar, tua-muda, laki-perempuan, anak-dewasa, dan keluarga-keluarga—mencari angin meski saat ini masih musim dingin dengan angin yang menggigit kulit.

Itulah yang terjadi di kota-kota di kawasan Timur Tengah setiap malam Jumat. Baru pada hari Jumatnya, kota akan berubah menjadi kota mati. Kehidupan baru akan terasa lagi berdenyut setelah shalat Jumat.

Keramaian di sepanjang Jalan Omar Muchtar atau Mahdah atau Salatin malam itu seakan menghapus luka akibat perang atau kesulitan hidup warga. "Biaya hidup di sini mahal," tutur Muhammad (25), seorang insinyur industri.

Sekadar sebagai gambaran, satu gelas kecil teh seharga lima sikel atau sekitar Rp 15.000. Padahal, di El-Arish (Mesir) atau Rafah (Mesir) yang hanya dipisahkan oleh tembok, harga segelas teh manis gelas kecil hanya 2 pound atau sekitar Rp 3.000. "Jangan beli Coca-Cola. Mahal banget," kata dokter Sarbini, salah seorang dokter tim bantuan kemanusiaan dari Indonesia, Mer-C. Sekaleng Coca-Cola seharga Rp 20.000 dan juga Sprite atau 7-Up.

Muhammad, yang kini mengisi waktunya dengan menjadi guru bahasa Inggris pada sebuah SMA, mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan di Jalur Gaza. Menurut penuturannya, banyak orang muda profesional yang ingin segera meninggalkan Jalur Gaza mencari kehidupan yang lebih baik. "Kalau pintu Rafah dibuka, orang-orang seperti kami ini pasti akan segera keluar pergi ke negara-negara lain seperti Qatar atau Kuwait atau mana saja untuk mengadu nasib," katanya.

"Saya tak suka mengajar. Saya insinyur industri. Tetapi daripada menganggur. Banyak orang menganggur di Jalur Gaza ini. Orang-orang terpelajar. Semua berpikiran sama, begitu ada kesempatan keluar dari Jalur Gaza, pasti segera keluar," tuturnya.

Rames (23), pelayan di Quick Pick, pun mengeluhkan hal yang sama. "Saya di tempat ini digaji 800 sikel (sekitar Rp 2,2 juta) setiap bulan. Tetapi kerjanya mulai dari pukul 08.00 hingga tutup, bisa pukul 22.00 atau 24.00 setiap hari dan hanya libur sekali setiap bulan. Bila tidak masuk sehari entah karena sakit atau malas, maka akan dipotong 30 sikel," katanya.

"Perang memang membuat semua berantakan. Perang membuat semua orang sengsara. Israel kemarin tidak hanya memerangi Hamas, tetapi memerangi rakyat Jalur Gaza, rakyat Palestina," tambah Muhammad yang seperti orang-orang di Jalur Gaza berharap segera ada perdamaian, meskipun mereka sadar bahwa kata itu lebih mudah diucapkan ketimbang diwujudkan atau dipraktikkan.

"Sudah lebih dari 15 tahun atau bahkan setelah perang tahun 1973, perundingan untuk mengusahakan perdamaian dilakukan, tetapi sampai sekarang belum juga terwujud. Kami sudah capek. Banyak rakyat yang sudah frustrasi dengan keadaan. Apalagi, para pemimpin kami juga tidak bisa bersatu," keluh Alaa S Qeta (40), seorang pegawai di kantor wali kota, yang memiliki empat anak.

"Kapan kami memperoleh kemerdekaan? Hidup di sini seperti di penjara," kata Rami (21), penganggur, sambil mengisap sisha.

From: www.kompas.com

No comments: