Friday, January 30, 2009

Apa Salah Kami, Para Pelajar?


Ada keceriaan yang terbaca di wajah mereka. Seakan tak tersisa ketakutan, kengerian, dan duka mencengkam mereka selama tiga pekan. Hari itu, Sabtu (24/1), adalah hari bahagia. Inilah hari pertama berjumpa lagi dengan kawan-kawan sekelas setelah sebulan meninggalkan bangku sekolah.

Tiga pekan, sejak tanggal 27 Desember 2008 hingga 17 Januari 2009, kampung halaman mereka dibombardir pesawat-pesawat dan helikopter-helikopter Israel. ”Sekolah kami dibom Israel. Hancur. Kami harus berjalan lebih jauh untuk menumpang sekolah di SMA Tel Rabie,” tutur seorang siswi di pinggiran Beit Lahiya, sekitar 12 kilometer barat laut Gaza City dan hanya 5 kilometer dari perbatasan Jalur Gaza-Israel.

Berdasarkan data tahun 2006 dari Lembaga Pusat Statistik Palestina, Beit Lahiya berpenduduk 59.540 jiwa. Warga Beit Lahiya paling sering menjadi sasaran tembakan dan pengeboman Israel yang membawa korban tewas dan luka-luka karena merupakan salah satu inti dari basis Hamas.

Di kawasan Beit Lahiya dan sekitarnya, banyak sekolah hancur. Para siswa dari beberapa sekolah digabung menjadi satu di sebuah sekolah yang luput dari gempuran Israel.

Di Beit Lahiya, banyak murid sekolah berjalan kaki di salah satu jalan di kota kecil tersebut. Salah seorang dari murid-murid itu menuturkan bahwa mereka sedang menuju ke arah salah satu gedung sekolah yang terletak di Tel Rabie yang masih utuh karena luput dari gempuran Israel.

Kompas akhirnya menemukan gedung sekolah di Tel Rabie itu, setelah mencari-cari dengan bertanya kepada beberapa penduduk di Beit Lahiya. Warga Jalur Gaza mulai bisa bernapas dan berani keluar rumah secara bebas sejak diberlakukan gencatan senjata secara sepihak oleh Israel, Minggu (18/1) mulai pukul 02.00.

Salah satu sekolah yang selamat dari kehancuran adalah SMA Tel Rabie, sekolah khusus putri, yang hanya mengalami kerusakan kecil, hanya kaca ruang perpustakaan yang pecah. ”Ini karena kena pecahan bom,” tutur Amzad (23), seorang guru muda di tempat itu.

SMA Tel Rabie, berpagar tinggi, berhalaman luas sekitar 700 meter persegi. Di halaman itulah, lebih dari 100 siswi melepas kangen, bertegur sapa, berbagai cerita tentang perang, dan berbagai duka.

Israel tak disebut

Di sebuah ruang kelas, seorang guru perempuan, Iman Umar Ilahin, tengah memberikan pelajaran geografi. Bu guru muda itu mengajukan pertanyaan kepada murid-muridnya. ”Di sebelah timur wilayah Palestina itu negara apa?” tanyanya.

Siswi-siswi yang tahu segera mengacungkan jari tangannya. ”Sebelah timur wilayah Palestina adalah Yordania,” jawab Chalidia, siswi berkacamata. ”Sebelah utara wilayah Palestina itu negara apa?” lanjut Bu Guru Iman.

Mereka kembali berebutan mengacungkan tangan. ”Sebelah utara wilayah Palestina adalah negara Lebanon,” jawab salah seorang siswi yang duduk di sebelah Chalidia.

”Sebelah selatan wilayah Palestina itu negara apa?” tanya guru itu lagi. ”Di sebelah selatan Palestina itu Mesir,” jawab siswi yang duduk dua meja di depan Chalidia.

Bu guru ingin memberi pemahaman tentang geografi. Pelajaran geografi dipandang sangat penting bagi warga Palestina karena menjadi sarana pemahaman mereka akan wilayah negerinya yang terancam eksistensinya oleh Israel. Di wilayah itulah, nantinya, berdiri Negara Palestina.

Guru itu tidak pernah menyebut negara Israel di depan murid-muridnya. Ini bagian dari cerminan sikap mereka terhadap Israel. Mereka tidak mengakui keberadaan Israel, yang dianggap sebagai penjajah, sebagai perebut tanah nenek moyang mereka.

”Israel menghancurkan rumah kami. Apa salah kami para siswa. Apa salah kami anak-anak sekolah. Mengapa gedung sekolah kami juga dihancurkan? Bukankah kami tidak bersalah?” kata Rimra Sultan (17), kelas 11 SMA.

”Alhamdulillah, keluarga kami semua selamat. Namun, ada tetangga kami yang menjadi korban, ada kawan kami yang menjadi korban. Meski demikian, kami tidak takut. Kami tidak takut perang demi kemerdekaan negara kami,” kata anak ketiga dari 11 bersaudara itu dengan semangat.

Susah membangun

Kepala SMA Tel Rabie Ahirah Andham (56) mengatakan, sekarang ini sulit membangun kembali Jalur Gaza karena semua pintu gerbang ditutup dan Israel melarang bahan-bahan bangunan, seperti semen dan besi, masuk ke Jalur Gaza.

”Pemerintah Palestina insya Allah akan membangun kembali semua infrastruktur yang hancur itu, tetapi masalahnya apakah Israel mengizinkan bahan-bahan bangunan masuk ke Jalur Gaza,” tuturnya dan mengatakan, banyak siswa yang terpaksa harus belajar di tempat darurat.

”Kalau ada gedung yang masih utuh, kita gunakan untuk menampung murid dari beberapa sekolah yang gedungnya hancur. Jika tidak ada gedung yang masih utuh, kita terpaksa menggunakan rumah penduduk yang dianggap cukup besar atau membangun tenda-tenda sementara,” katanya.

Menurut Andham, gedung sekolah di Tel Rabie kebetulan berada di tengah rumah-rumah penduduk atau di tengah kota Beit Lahiya sehingga tank-tank dan buldoser-buldoser Israel tidak mencapai gedung sekolah ini.

Kawasan pinggiran Beit Lahiya ini diduduki Israel selama tiga pekan. Bahkan, daerah Latawan dan Tsalatin diduduki secara penuh oleh Israel hingga di tengah kotanya,” paparnya.

Bukan uang

Gaji guru di sekolah SMA bervariasi tergantung posisi dan lama kerja, yakni ada yang hanya 200 dollar AS, 400 dollar AS, dan ada yang 600 dollar AS. ”Namun, bukan uang yang saya cari. Saya ingin mengabdikan diri bagi negeri kami. Saya ingin memberikan sumbangan untuk mencerdaskan anak-anak negeri ini sebagai pemilik masa depan,” tutur Iqram Umar, guru perempuan yang baru enam bulan menjadi guru selepas menempuh ilmu di Universitas Al Azhar, Gaza City.

From: www.kompas.com

No comments: