Friday, January 30, 2009

Hasanain, Korban Serangan Israel


Ahmad Hasanain ditembak saat bermain di jalanan. Kini bocah kecil itu tergolek tak berdaya di ranjang Rumah Sakit Sifa, Gazah City. Kain putih menutup sebagian tubuh mungilnya. Di kanan-kiri ranjangnya, alat-alat kedokteran yang menjadi tumpuan hidupnya diletakkan. Dua selang besar dan kecil warna putih disambungkan ke mulutnya.

Dahi kananya ditutup perban, demikian pula tangan kanannya. Ahmad Hasanain yang baru berusia 7 tahun tidak sadarkan diri. Detak suara mesin penyambung hidup yang terdengar berirama tut-tut-tut-tut menjadi tanda bahwa kehidupan masih berpihak kepadanya.

Mata Hasanain terpejam. Rapat! Mulutnya terbuka ditembus dua selang. Kalau di dalam ”tidurnya” ia bermimpi, mungkin ia bermimpi akan nasib malang yang menimpanya. Mengapa semua itu harus terjadi. Mengapa?

”Saat itu, ia tengah bermain,” kata Majid Hasanain, ayahnya, mengenang peristiwa pada Kamis (22/1) kelabu itu. ”Ya, ia sedang bermain. Bermain di jalan. Saat itu, sekitar pukul 09.00, tiba-tiba semuanya terjadi. Sebutir peluru menerjang dahinya, masuk ke dalam kepalanya,” katanya. ”Peluru itu sampai saat ini masih ada di dalam otaknya,” sambung seorang petugas medis.

Majid Hasanain tidak tahu dari mana asal peluru itu. Orang-orang mengatakan, peluru dilepaskan oleh penembak jitu Israel. Bukankah gencatan senjata sudah diumumkan oleh Israel sejak Minggu dini hari? Namun, mengapa masih ada saja tentara yang melepaskan tembakan dan mengenai seorang bocah yang tidak tahu-menahu soal perang; bocah yang tengah menikmati masa bermainnya?

Pertanyaan itu terus dan terus diajukan oleh Majid Hasanain. Dan, ia tidak menemukan jawabnya. Ia hanya menemukan kenyataan bahwa anak yang ke-14 dari 15 anaknya kini tergolek tak berdaya, berjuang mempertahankan hidup di sebuah ruangan perawatan intensif rumah sakit yang jauh dari kampung halamannya di Sujaiyah, sekitar 1,5 kilometer dari Rafah, perbatasan Mesir-Jalur Gaza.

Apakah anaknya akan kembali? ”Semoga Allah memberikan rahmat dan berkah-Nya,” kata Majid Hasanain sambil mengangkat kedua tangannya.

Luka serius

Ahmad Hasanain adalah satu dari sekian banyak korban agresi militer dan kekejaman Israel. ”Lebih dari 200 orang dengan luka sangat serius yang kami tangani selama perang,” kata Omar El Manasra, seorang dokter yang bertugas di ruang perawatan intensif itu.

Persis di seberang ranjang Hasanain, tergolek Mohammad Garboa (40). Lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan itu bernasib sama dengan Hasanain. Ia ditembak tentara Israel. Peluru masuk kepalanya dan tembus hingga ke dahi. Keluar!

Lelaki berewokan ini tidur dalam kedamaian meski tidak bisa menikmati kedamaian yang sudah bertahun-tahun dicari rakyat Palestina. ”Ia tidak sadarkan diri,” kata dr Jose Rizal dari Mer-C Indonesia yang memimpin tim kemanusiaan dari Indonesia.

Kepala Mohammad Gerboa dibalut. Dua selang—satu disambungkan dengan mulut dan satunya dengan hidung—menjadi penyambung hidupnya. Dari selang itulah napas kehidupan mengalir. Matanya terpejam. Rapat!

Sebelah kiri Mohammad Gerboa, terpaut satu ranjang, terletak Said, juga tak sadarkan diri. Wajah Said terbakar karena bom yang ditebarkan Israel ketika perang masih berkecamuk. Bukan hanya wajah dan kepalanya, tangan kanannya pun terbakar.

Di ruang perawatan masih banyak korban-korban keganasan Israel selama 23 hari mengumbar angkara murka di wilayah Jalur Gaza. Terlihat, Yasser, bocah lelaki berusia 7 tahun, duduk di atas ranjangnya ditunggui kedua orangtuanya. Tangan dan kaki kanannya patah. Lagi-lagi karena bom Israel.

Ada juga Haisyam Abu Ibrahim, Abu Hassan, Hashem, Mahmud, atau Abdullah. Di antara mereka, ada yang patah tangan, patah kaki, dan ada yang kakinya harus diamputasi serta ada yang wajahnya terbakar karena bom. Semua mereka adalah warga sipil, bagian dari 5.000 lebih orang yang luka akibat ulah Israel.

Wajah dokter Omar El Manasra tidak mampu menyembunyikan kesedihan dan kemarahannya menyaksikan korban-korban agresi tentara Israel itu. ”Ketika perang masih berlangsung, kami harus kerja mati-matian karena begitu banyak pasien dengan luka sangat serius,” katanya, sementara kondisi rumah sakit saat itu kurang mendukung.

From: www.kompas.com

No comments: