Perang tak pernah dapat membedakan jenis kelamin, usia, para pejuang tempur, atau warga sipil tak berdosa. Fakta itu pula yang terjadi di Jalur Gaza.
Sejak Israel menyerbu Jalur Gaza dengan mortir dan peluru kendali pada 27 Desember lalu, disusul dengan serangan darat, seluruh sendi kehidupan di Jalur Gaza langsung ambruk. Dari sekitar 1,5 juta penduduk Jalur Gaza, ratusan ribu warga tak berdosa menjadi korban.
Derita sebenarnya yang menimpa warga Jalur Gaza barangkali jauh lebih dahsyat dari sekadar angka korban tewas sekitar 689 orang dan lebih dari 3.000 orang cedera. Aliran air dan fasilitas rumah sakit hancur berantakan dan pasokan makanan terhenti.
Sekitar 50 persen penduduk Jalur Gaza adalah anak-anak. Dari korban tewas, 220 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 17 tahun, sebagaimana disaksikan kepala bidang darurat Jalur Gaza, Moawiya Hassanein.
Anak-anak yang selamat pun akan menghadapi masalah. Mereka terkejut, menangis, untuk sebuah alasan yang tidak mereka tahu karena ada yang berusia di bawah lima tahun. ”Masalah yang dihadapi anak-anak akan meningkat karena keluarga mereka terpaksa melarikan diri menghindari serangan dan sebagian rumah mereka telah rata dengan tanah,” demikian pernyataan Yayasan Save the Children (Inggris).
Tak mau bicara
Anak-anak trauma, hidup dengan ketakutan bahwa ledakan berikutnya mungkin menghancurkan tempat tinggal mereka. ”Banyak anak yang berhenti makan. Mereka kehilangan gairah sebagaimana halnya anak-anak yang biasanya aktif, dan mendadak menjadi pendiam,” kata Sajy Elmaghinni dari Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) di Jalur Gaza.
”Kini anak-anak takut kegelapan, yang justru menjadi masalah karena tak ada aliran listrik,” kata Elmaghinni yang rumahnya sendiri pun tidak lagi dialiri listrik dalam lima hari terakhir.
”Mereka tak bisa bermain, tak bisa tidur, tak bisa pergi ke sekolah,” kata Benedict Dempsey dari Save the Children.
Alat pemanas tidak bisa dihidupkan saat suhu dingin menggigit. ”Kami hanya berbalutkan baju,” kata Elmaghinni.
Ini merupakan tragedi baru. Sebelum serangan Israel, sekitar 50.000 anak Palestina sudah kekurangan gizi akibat blokade Israel selama 18 bulan terakhir di Jalur Gaza.
Elmaghinni kini khawatir karena istrinya sedang hamil sembilan bulan. ”Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya hanya bisa berdoa anak saya jangan lahir dulu karena kondisi sedang begini,” katanya.
Warga hidup dalam ketakutan. Jalanan lengang. Jika ingin melakukan sesuatu, tidak ada pilihan. Berjalan ke sebuah tempat, hanya menghadapi risiko terkena serangan. Tinggal di rumah-rumah pun, tak ada jaminan aman dari kematian.
Membabi buta
Rumah ibadah dan kantor-kantor pemerintah pun tidak lagi berani dijadikan sebagai tempat pelarian karena turut menjadi sasaran serangan.
Sejumlah pejuang Palestina, disampaikan beberapa saksi, memang terkadang bersembunyi di balik kerumunan orang. Namun, sebagian besar warga sipil tewas justru karena bombardir Israel yang membabi buta.
Seorang petani, sebagaimana ditayangkan televisi Al Jazeera, kehilangan empat anaknya karena serangan Israel. ”Kami bukan orang berbahaya. Saya hanyalah seorang petani, yang Anda tahu pasti tak punya kemampuan melawan,” kata bapak petani itu yang hanya bisa mengusap-usap kepala anak-anaknya yang sudah terkulai tak bernyawa.
Pihak Israel menegaskan berusaha sebaik mungkin meminimalkan korban warga sipil. Chris Gunnes, juru bicara badan bantuan PBB di Gaza, mengatakan, sesungguhnya sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan perencana militer, penggunaan kekuatan secara berlebihan seperti yang dilakukan Israel hanya membuat jatuhnya korban warga sipil sulit dihindarkan.
”Dengan tank-tank di lingkungan perkotaan, peluang salah perhitungan menjadi berlipat-lipat ganda,” ungkap David Hartwell, editor Timur Tengah dan Afrika Utara dari Jane’s Country Risk.
Pihak-pihak yang berperang pun sering kali melupakan dampak trauma yang dialami anak-anak yang berada di medan perang.
Para pekerja bantuan meyakini, semua anak Palestina di Gaza mengalami trauma akibat bombardir Israel yang sambung-menyambung.
Kotoran menjadi ancaman
Ancaman baru pun muncul, bukan lagi sekadar ancaman serangan Israel. Bank Dunia, Rabu (7/1), menguraikan, puluhan ribu orang berisiko sakit karena harus bergelut dengan limbah kotoran manusia. Pengeboman oleh Israel telah merusak sistem saluran pembuangan di Jalur Gaza dan otoritas Jalur Gaza tidak mampu mengoperasikan pompa-pompa pembuang kotoran itu.
Pompa-pompa untuk memindahkan air kotor dari kolam penampungan besar ke kolam penyaringan di utara Gaza tidak bisa beroperasi karena ketiadaan listrik dan bahan bakar. Dalam keadaan normal, pompa-pompa itu berperan besar mengurangi tekanan terhadap struktur di danau penampungan kotoran di Beit Lahya.
Akibatnya, dinding-dinding danau buatan itu pun terancam roboh akibat ledakan bertubi-tubi di dekatnya. Ancaman bertambah karena ada kemungkinan akan hujan lebat.
”Kerusakan struktur danau itu bisa membuat sekitar 10.000 orang yang tinggal di sekitarnya berada dalam bahaya tenggelam air pembuangan, dan bisa memicu bencana lingkungan, dan kesehatan masyarakat yang sangat besar,” demikian pernyataan tertulis Bank Dunia.
From: www.kompas.com
Sejak Israel menyerbu Jalur Gaza dengan mortir dan peluru kendali pada 27 Desember lalu, disusul dengan serangan darat, seluruh sendi kehidupan di Jalur Gaza langsung ambruk. Dari sekitar 1,5 juta penduduk Jalur Gaza, ratusan ribu warga tak berdosa menjadi korban.
Derita sebenarnya yang menimpa warga Jalur Gaza barangkali jauh lebih dahsyat dari sekadar angka korban tewas sekitar 689 orang dan lebih dari 3.000 orang cedera. Aliran air dan fasilitas rumah sakit hancur berantakan dan pasokan makanan terhenti.
Sekitar 50 persen penduduk Jalur Gaza adalah anak-anak. Dari korban tewas, 220 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 17 tahun, sebagaimana disaksikan kepala bidang darurat Jalur Gaza, Moawiya Hassanein.
Anak-anak yang selamat pun akan menghadapi masalah. Mereka terkejut, menangis, untuk sebuah alasan yang tidak mereka tahu karena ada yang berusia di bawah lima tahun. ”Masalah yang dihadapi anak-anak akan meningkat karena keluarga mereka terpaksa melarikan diri menghindari serangan dan sebagian rumah mereka telah rata dengan tanah,” demikian pernyataan Yayasan Save the Children (Inggris).
Tak mau bicara
Anak-anak trauma, hidup dengan ketakutan bahwa ledakan berikutnya mungkin menghancurkan tempat tinggal mereka. ”Banyak anak yang berhenti makan. Mereka kehilangan gairah sebagaimana halnya anak-anak yang biasanya aktif, dan mendadak menjadi pendiam,” kata Sajy Elmaghinni dari Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) di Jalur Gaza.
”Kini anak-anak takut kegelapan, yang justru menjadi masalah karena tak ada aliran listrik,” kata Elmaghinni yang rumahnya sendiri pun tidak lagi dialiri listrik dalam lima hari terakhir.
”Mereka tak bisa bermain, tak bisa tidur, tak bisa pergi ke sekolah,” kata Benedict Dempsey dari Save the Children.
Alat pemanas tidak bisa dihidupkan saat suhu dingin menggigit. ”Kami hanya berbalutkan baju,” kata Elmaghinni.
Ini merupakan tragedi baru. Sebelum serangan Israel, sekitar 50.000 anak Palestina sudah kekurangan gizi akibat blokade Israel selama 18 bulan terakhir di Jalur Gaza.
Elmaghinni kini khawatir karena istrinya sedang hamil sembilan bulan. ”Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya hanya bisa berdoa anak saya jangan lahir dulu karena kondisi sedang begini,” katanya.
Warga hidup dalam ketakutan. Jalanan lengang. Jika ingin melakukan sesuatu, tidak ada pilihan. Berjalan ke sebuah tempat, hanya menghadapi risiko terkena serangan. Tinggal di rumah-rumah pun, tak ada jaminan aman dari kematian.
Membabi buta
Rumah ibadah dan kantor-kantor pemerintah pun tidak lagi berani dijadikan sebagai tempat pelarian karena turut menjadi sasaran serangan.
Sejumlah pejuang Palestina, disampaikan beberapa saksi, memang terkadang bersembunyi di balik kerumunan orang. Namun, sebagian besar warga sipil tewas justru karena bombardir Israel yang membabi buta.
Seorang petani, sebagaimana ditayangkan televisi Al Jazeera, kehilangan empat anaknya karena serangan Israel. ”Kami bukan orang berbahaya. Saya hanyalah seorang petani, yang Anda tahu pasti tak punya kemampuan melawan,” kata bapak petani itu yang hanya bisa mengusap-usap kepala anak-anaknya yang sudah terkulai tak bernyawa.
Pihak Israel menegaskan berusaha sebaik mungkin meminimalkan korban warga sipil. Chris Gunnes, juru bicara badan bantuan PBB di Gaza, mengatakan, sesungguhnya sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan perencana militer, penggunaan kekuatan secara berlebihan seperti yang dilakukan Israel hanya membuat jatuhnya korban warga sipil sulit dihindarkan.
”Dengan tank-tank di lingkungan perkotaan, peluang salah perhitungan menjadi berlipat-lipat ganda,” ungkap David Hartwell, editor Timur Tengah dan Afrika Utara dari Jane’s Country Risk.
Pihak-pihak yang berperang pun sering kali melupakan dampak trauma yang dialami anak-anak yang berada di medan perang.
Para pekerja bantuan meyakini, semua anak Palestina di Gaza mengalami trauma akibat bombardir Israel yang sambung-menyambung.
Kotoran menjadi ancaman
Ancaman baru pun muncul, bukan lagi sekadar ancaman serangan Israel. Bank Dunia, Rabu (7/1), menguraikan, puluhan ribu orang berisiko sakit karena harus bergelut dengan limbah kotoran manusia. Pengeboman oleh Israel telah merusak sistem saluran pembuangan di Jalur Gaza dan otoritas Jalur Gaza tidak mampu mengoperasikan pompa-pompa pembuang kotoran itu.
Pompa-pompa untuk memindahkan air kotor dari kolam penampungan besar ke kolam penyaringan di utara Gaza tidak bisa beroperasi karena ketiadaan listrik dan bahan bakar. Dalam keadaan normal, pompa-pompa itu berperan besar mengurangi tekanan terhadap struktur di danau penampungan kotoran di Beit Lahya.
Akibatnya, dinding-dinding danau buatan itu pun terancam roboh akibat ledakan bertubi-tubi di dekatnya. Ancaman bertambah karena ada kemungkinan akan hujan lebat.
”Kerusakan struktur danau itu bisa membuat sekitar 10.000 orang yang tinggal di sekitarnya berada dalam bahaya tenggelam air pembuangan, dan bisa memicu bencana lingkungan, dan kesehatan masyarakat yang sangat besar,” demikian pernyataan tertulis Bank Dunia.
From: www.kompas.com
No comments:
Post a Comment